Career Minimalism: Tren Baru Gen Z yang Tinggalkan Ambisi Jabatan Tinggi

Citra P

Career Minimalism: Tren Baru Gen Z yang Tinggalkan Ambisi Jabatan Tinggi

Career Minimalism: Cara Pandang Baru Tentang Karier

Dulu, karier identik dengan “tangga” yang harus dinaiki satu per satu: mulai dari staf, naik jadi supervisor, lalu manajer, hingga direktur. Semakin tinggi jabatan, semakin dianggap sukses. Tapi pola pikir ini ternyata mulai bergeser di generasi muda, khususnya Gen Z.

Mereka mempopulerkan tren baru yang disebut career minimalism. Alih-alih fokus mengejar jabatan tinggi, mereka lebih mementingkan stabilitas finansial, fleksibilitas kerja, dan kualitas hidup yang seimbang.

Promo Shopee Live

Bagi Gen Z, pekerjaan hanyalah satu bagian dari hidup, bukan identitas utama yang mendefinisikan diri mereka.

Mengapa Career Minimalism Jadi Tren?

Mengapa Career Minimalism Jadi Tren?

Ada beberapa alasan kenapa career minimalism semakin digemari:

1. Dunia Kerja yang Tidak Pasti

PHK massal, perkembangan AI yang menggantikan pekerjaan manusia, hingga risiko burnout membuat banyak anak muda sadar bahwa jabatan tinggi tidak menjamin keamanan.

Mereka lebih memilih jalur yang realistis: pekerjaan yang stabil dan fleksibel.

2. Work-Life Balance Jadi Prioritas

Gen Z percaya bahwa hidup bukan hanya tentang kerja. Mereka ingin punya waktu untuk keluarga, teman, hobi, atau bahkan traveling.

Karier tetap penting, tapi tidak boleh mengorbankan kesehatan mental dan keseimbangan hidup.

3. Ambisi yang Berbeda

Jika generasi sebelumnya mengejar jabatan demi gengsi, Gen Z punya ambisi lain: hidup yang bermakna.

Kesuksesan bukan lagi soal punya kantor besar atau titel keren, melainkan tentang kebebasan mengatur hidup sesuai nilai dan tujuan pribadi.

Career Lily Pad vs Career Ladder

Kalau dulu orang tua kita sering bilang, “kerja itu harus naik tangga karier pelan-pelan sampai jadi bos besar”, konsep ini dikenal dengan career ladder.

Intinya, setiap orang dianggap sukses kalau bisa menapaki satu per satu level jabatan: staf → supervisor → manajer → direktur.

Tapi buat Gen Z, pola ini terasa kaku. Mereka lebih suka konsep baru yang disebut career lily pad. Alih-alih fokus naik satu tangga, mereka justru lebih senang “melompat” antar pekerjaan atau peran sesuai kebutuhan.

Ibarat kodok yang lompat dari satu daun teratai ke daun lain, mereka bebas menentukan arah tanpa harus terikat demi loyalitas jabatan.

Contohnya, seorang Gen Z bisa saja kerja 2 tahun di startup teknologi, lalu pindah ke industri kreatif, terus banting setir ke perusahaan sosial.

Bukan karena nggak fokus, tapi karena mereka ingin pengalaman yang relevan dengan nilai hidupnya, bukan sekadar mengejar jabatan tinggi.

Gen Z Tidak Lagi Ambisi Jadi Bos

Gen Z Tidak Lagi Ambisi Jadi Bos

Survei dari Glassdoor menunjukkan fakta menarik: 68% Gen Z tidak tertarik menjadi manajer kalau cuma sekadar dapat titel tanpa kompensasi yang jelas. Jadi, jabatan tinggi bukan lagi magnet utama buat mereka.

Tapi, jangan salah paham. Bukan berarti mereka anti kepemimpinan. Bedanya, mereka nggak suka gaya bos yang otoriter, kaku, dan penuh intrik. Kalau harus jadi pemimpin, gaya yang mereka pilih lebih ke arah:

  • Kolaboratif – pemimpin yang turun langsung, bukan cuma nyuruh-nyuruh.
  • Transparan – jelas dalam komunikasi dan keputusan, tanpa drama di belakang layar.
  • Fleksibel – memberi ruang untuk kreativitas, bukan hanya terjebak aturan kaku.

Buat Gen Z, jadi bos itu bukan soal kursi atau titel, tapi tentang memberi pengaruh positif tanpa kehilangan keseimbangan hidup.

Side Hustle: Ciri Khas Generasi “Employee+”

Nah, satu lagi yang bikin Gen Z beda: side hustle. Mereka nggak puas cuma punya pekerjaan utama. Di luar jam kerja, banyak yang nyari peluang lain buat berekspresi, nambah cuan, sekaligus mengasah passion.

Menurut data Harris Poll, 57% Gen Z punya side hustle. Dan ini bentuknya macam-macam:

  • Jualan online – dari produk fashion, makanan, sampai digital product.
  • Jadi kreator konten – bikin video di TikTok, YouTube, atau jadi influencer di Instagram.
  • Freelance – menulis artikel, desain grafis, edit video, sampai coding.

Bagi mereka, side hustle bukan sekadar tambahan gaji, tapi juga ruang ekspresi diri. Ada kepuasan tersendiri ketika passion bisa jalan bareng, meski pekerjaan utama tetap jadi penopang stabilitas finansial.

Apakah Career Minimalism Jadi Ancaman untuk Perusahaan?

Apakah Career Minimalism Jadi Ancaman untuk Perusahaan?

Fenomena ini memang membuat perusahaan harus berpikir ulang. Calibre Careers bahkan menyebut career minimalism bisa membuat perusahaan kesulitan mencari calon pemimpin di masa depan.

Jika banyak anak muda enggan mengejar jabatan, perusahaan bisa kehilangan talent potensial untuk posisi manajerial. Tantangan lainnya adalah:

  • Kenaikan jabatan jadi kurang menarik. Perusahaan harus memikirkan benefit lain selain titel.
  • Retensi karyawan menurun. Gen Z lebih mudah pindah kerja jika merasa tidak cocok.
  • Budaya kerja harus berubah. Perusahaan dituntut lebih fleksibel, transparan, dan humanis agar bisa menarik perhatian generasi muda.

Namun, ini juga bisa menjadi peluang. Jika perusahaan mampu menyesuaikan diri dengan pola pikir baru ini, mereka bisa menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan menarik bagi talenta muda.

Apa yang Bisa Dipelajari dari Tren Career Minimalism?

Buat generasi sebelumnya, career minimalism mungkin terlihat “kurang ambisius”. Tapi nyatanya, tren ini punya banyak nilai positif:

  • Mencegah burnout karena fokus pada keseimbangan hidup.
  • Mendorong kreativitas lewat side hustle.
  • Membuat karier lebih adaptif terhadap perubahan dunia kerja.
  • Mengutamakan kualitas hidup, bukan hanya pencapaian di kantor.

Career minimalism menunjukkan bahwa kesuksesan bisa punya definisi baru. Gen Z tidak lagi mengukur diri lewat jabatan tinggi, tapi lewat hidup yang stabil, bebas, dan seimbang.

Bagi perusahaan, tren ini bukanlah ancaman, melainkan panggilan untuk beradaptasi. Karena pada akhirnya, karier bukan hanya soal siapa yang jadi bos, tapi bagaimana semua orang bisa bekerja dengan sehat, produktif, dan bahagia.

Bagikan:

Artikel Terkait